Intisari-online.com – Pada suatu masa, di tanah Jawa yang subur, tumbuhlah seorang pemuda bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo. Lahir di Cepu, Jawa Tengah, pada tanggal 7 Januari 1905, ia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berpendirian teguh. Kartosoewiryo muda adalah saksi bisu dari gejolak perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Semangat nasionalisme membara dalam jiwanya, membuatnya aktif dalam berbagai organisasi pergerakan, termasuk Jong Java dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
Tahun 1928 menjadi tonggak penting dalam perjalanan hidupnya. Bersama para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara, Kartosoewiryo turut serta dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda. Ikrar suci yang menggema di Gedung Indonesische Clubhuis Kramat, Jakarta, itu menanamkan tekad persatuan dalam sanubarinya. “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia,” sebuah mantra yang menggetarkan jiwa dan membakar semangatnya.
Namun, takdir menuntun Kartosoewiryo ke jalan yang penuh liku. Pasca kemerdekaan, pergolakan politik dan ideologi melanda Indonesia. Kartosoewiryo, yang memiliki visi untuk mendirikan negara Islam, merasa kecewa dengan arah perjuangan bangsa. Ia menilai Pancasila sebagai dasar negara tidak sesuai dengan keyakinannya. Kekecewaan ini mendorongnya untuk membentuk Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat, sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) yang berdasarkan syariat Islam.
Ketika Cita-cita Berseberangan dengan Jalan Revolusi
Perjuangan Kartosoewiryo dan DI/TII bukanlah perjalanan yang mudah. Gerakan ini dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru saja berdiri. Pemerintah Indonesia pun melancarkan operasi militer untuk menumpas DI/TII. Di tengah hutan belantara dan pegunungan terjal, Kartosoewiryo memimpin pasukannya bergerilya, melawan tentara Republik yang berusaha menangkap mereka. Pertempuran demi pertempuran terjadi, mengorbankan banyak jiwa di kedua belah pihak. Kartosoewiryo, yang dulunya seorang pejuang kemerdekaan, kini menjadi buronan negara. Ia hidup dalam pelarian, berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara.
Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia tetap teguh pada keyakinannya, berjuang untuk cita-cita yang ia yakini benar. Setelah bertahun-tahun bergerilya, pada 4 Juni 1962, Kartosoewiryo akhirnya tertangkap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Penangkapan ini menandai berakhirnya perlawanan DI/TII. Kartosoewiryo kemudian diadili dan dijatuhi hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan pada 12 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Kontroversi dan Warisan Sejarah
Kisah Kartosoewiryo adalah potret kelam dalam sejarah Indonesia. Seorang tokoh yang pernah berjuang untuk kemerdekaan, namun akhirnya harus berhadapan dengan negara yang ia perjuangkan. Perjalanan hidupnya diwarnai oleh kontradiksi dan kontroversi. Di satu sisi, ia adalah seorang nasionalis yang turut serta dalam Sumpah Pemuda. Di sisi lain, ia adalah seorang pemberontak yang berusaha mengubah dasar negara. Hingga kini, penilaian terhadap Kartosoewiryo masih beragam. Ada yang menganggapnya sebagai pahlawan yang berjuang untuk keyakinannya.
Ada pula yang mengutuknya sebagai pengkhianat bangsa. Namun, terlepas dari segala kontroversi yang ada, Kartosoewiryo adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Kisahnya menjadi pengingat bagi kita akan kompleksitas perjuangan bangsa, di mana idealisme dan realitas politik kerap kali berbenturan. Kisah Kartosoewiryo adalah sebuah tragedi. Seorang pemuda yang penuh idealisme, terjebak dalam pusaran konflik ideologi. Ia memilih jalan yang berbeda dengan arus utama, dan harus membayar mahal atas pilihannya itu.
Namun, di balik tragedi tersebut, terdapat pelajaran berharga yang dapat kita petik. Bahwa perjuangan untuk sebuah cita-cita tidak selalu mudah, dan terkadang harus ditempuh dengan pengorbanan besar. Bahwa perbedaan pandangan politik tidak harus memecah belah persatuan bangsa. Dan bahwa sejarah adalah guru terbaik yang mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan, serta membangun masa depan yang lebih baik.
Dalam senyapnya malam, di antara gemerisik dedaunan dan hembusan angin, terkadang terdengar bisikan nama Kartosoewiryo. Sebuah nama yang mengundang beragam tafsir dan emosi. Ia adalah simbol dari perjuangan yang penuh liku, sebuah pengingat akan kompleksitas sejarah bangsa.
Semoga kisah Kartosoewiryo dapat menjadi renungan bagi kita semua, untuk senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Penulis : Afif Khoirul M
Sumber:
Anderson, Benedict R. O’G. (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
Kahin, George McTurnan. (1952). Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
Kartosoewirjo, S. M. (1960). Manifesto Negara Islam Indonesia.
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1300. Stanford, Calif: Stanford University Press.
Beri Komentar