Oleh : Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah)
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terpilih memimpin Presidensi G20 untuk satu tahun ke depan (2021-2022). Muhammadiyah mengapresiasi kepercayaan dunia terhadap Indonesia tersebut sebagai suatu capaian yang positif dan konstruktif yang memberi optimisme di tengah bangsa dan dunia yang masih menghadapi pandemi. Dulu Indonesia berperan sentral dalam kelompok Negara-negara Non Blok, maka jadikan kepercayaan tersebut untuk mengkapitalisasi posisi dan peran Indonesia di dunia internasional secara lebih proaktif dan dinamis sejalan prinsip politik Luar Negeri Bebas Aktif. Di dalam negeri agendanya bagaimana memanfaatkan peluang Presidensi G20 tersebut untuk penguatan dan mobilisasi kekuatan domestik di dalam negeri karena akan terkait dengan peran di kancah global.
Indonesia juga setelah 2030 diprediksi menjadi negara keempat sebagai negara dengan ukuran ekonomi terbesar setelah Tiongkok, AS, dan India, menyusul nomor lima Jerman. Posisi yang baik tersebut tentu tidak hanya akan terkait dengan ekonomi semata tetapi akan berkorelasi dengan beberapa isu global yang saat ini. Beberapa isu besar di tingkat dunia yaitu pandemi Covid-19, demokrasi, globalisasi terutama WTO, revolusi saintifik dan teknologi yang terkait desrupsi dan digitalisasi, SDG’s, dan isu perubahan iklim global atau “the climate change”. Bagaimana Indonesia mampu mengelola isu dan agenda global tersebut di dalam negeri secara cerdas dan visioner dengan berpijak pada kepribadian bangsa yang dijiwai Pancasila, Agama, dan kebudayaan luhur bangsa.
Khusus isu demokrasi akan tetap menjadi paradigma global di seluruh dunia. Masa depan dunia ialah masa depan demokrasi. Tapi mulai muncul warning (peringatan) seperti disuarakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tahun 2018 tentang fenomena “Democracies Die” (Kematian Demokrasi) di ranah politik global. “Demokrasi mati bukan di tangan jenderal, tetapi di tangan pemimpin terpilih, yang membajak proses yang membawa mereka ke kekuasaan” seperti kasus Amerika Serikat di era Trump dan sejumlah negara. Pelemahan norma demokrasi dan polarisasi partisan ekstrem pada era rezim demokratik
menjadi sumber konflik eksistensial terkait ras dan budaya. “Egalitarianisme, kesantunan, rasa kebebasan, dan tujuan bersama sebagai inti demokrasi di AS dan negaranegara Barat mulai diserang dari dalam, kita mesti mencegahnya mati dati dalam.” ungkap dua penulis tersebut. Indonesia tentu perlu waspada serta harus memiliki wajah dan karakter demokrasi yang sejalan dengan Sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Fenomena kedua ialah perubahan iklim global, the climate change. Seperti disuarakan David Wallace tahun 2019 tebtang “The Uninhibitable Earth”, kisah tentang bumi yang tidak dapat dihuni. Yaitu ancaman dari perubahan iklim lebih total dan lebih luas ketimbangan ancaman dari bom. Berbagai bencana alam yang tidak lagi alami, badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan, ambruknya ekonomi, konflik akibat iklim, terkait dengan perubahan iklim global. Kehidupan diambang kepunahan menyerupai kiamat, manusia tidak dapat lagi memilih planet karena inilah tempat satu-satunya di alam semesta yang dapat disebut sebagai rumah.
Indonesia penting mengantisipasi isu-isu global tersebut dengan seksama. Khusus pasca terpilih menjadi Presidensi G20, Indonesia agar lebih mampu mengelola dan mengakselerasikan secara lebih progresif posisi dan peran Indonesia di kancah Regional khusus ASEAN, Asia Timur khsususnya Tiongkok, Australia dan kawasan Pasifik, serta Dunia Islam khusus Timur Tengah. Indonesia dengan posisi Presidensi G20 niscaya menggeser secara signifikan dari negara konsumen menjadi negara produsen, dari negara pengimpor menjadi pengekspor, dan dari objek globalisasi-modernisasi menjadi subjek globalisasasi-modernisasi.
Selain itu di tingkat Domestik pernting mengelola demokrasi agar tidak berhenti pada pestapora demokrasi dan HAM yang menjurus ekstrem atau liberal-sekuler, memecahkan problem laten ekonomi yaitu kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah utang luar negeri, serta ancaman politik terutama menyangkut persatuan nasional, dan masalah bangsa lainnya karena akan terkoneksi dengan peran di ranah global.
Muhammadiyah sebagai kekuatan Civil Society yang modern mendorong dan berperan aktif dalam menyukseskan kepemimpinan Indonesia di tingkat global. Pertama dengan program internasionalisasi Muhammadiyah dalam bentuk mempromosikan
Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan serta program unggulan Amal Usaha di ranah global. Kedua memperkuat basis kemajuan bangsa seperti di bidang sumberdaya manusia dan pendidikan, ekonomi UMKM yang berkeadilan sosial, pemanfaatan peluang digitalisasi.
Dalam ikut mengarahkan kiblat bangsa Muhammadiyah berharap dan ingin berkontribusi agar rancang bangun Satu Abad Indonesia di tahun 2045 benar-benar visioner membawa Indonesia sebagai negara besar yang maju dan modern berbasis identitas keindonesiaan yaitu Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Nasional.
Khusus dalam moderasi Indonesia untuk dunia. Moderasi Indonesia untuk dunia niscaya dimulai dari moderasi diri sendiri berbasis nilai-nilai moderat atau wasathiyah. Penting mempraktikkan moderasi dalam berpolitik, berekonomi, berbudaya, beragama, dan perikehidupan kebangsaan lainnya disertai uswah hasanah atau keteladanan. Moderasi Indonesia mesti berbasis pada dasar negara Pancasila, nilai luhur Agama, dan kebudayaan bangsa. Konsep dan kebijakan moderasi dalam menghadapi radikalisme-ekstremisme harus holistik bahwa sumber radikalisme-ekstremisme bisa berasal dari apa saja, aspek apa saja, dan dilakukan oleh siapa saja. Melawan radikalisme-ekstremisme tidak dilakukan dengan cara yang radikal-ekstrem tetapi dengan moderasi. Cegah Indonesia dari segala bentuk radikalisme-ekstremisme dari semua aliran pikiran dan gerakan yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila, Agama, dan Kebudayaan bangsa. Bila tidak setuju dengan satu radikal-ekstrem yang sering dikonotasikan secara salah atau bias tentang “Arabisme” misalnya, maka harus selektif juga dengan ekstremitas pemikiran liberal-sekuler Barat yang bertengangan dengan jatidiri keindonesiaan. Moderasi Indonesia harus autentik dan sejiwa dengan kepribadian bangsa Indonesia. Para elite dan warga bangsa mesti berjiwa, berpikir, dan bertindak moderat dengan jujur, cerdas, berilmu, dan hikmah-bijaksana menuju kebaikan hidup Indonesia milik bersama.
Beri Komentar