Oleh: Diki Hermawan
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Rusia & Mahasiswa Kazan Federal University
Eksistensi Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad. Selama itu pula, Muhammadiyah telah menjadi gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, pemurnian akidah dari jurang kejumudan, serta segenap usaha menolong umat dari ketertinggalan. Ketika mula dirintis pada 1912, Muhammadiyah bertujuan membangkitkan kesadaran umat Islam dari ketertinggalan. Pada waktu itu umat muslim sudah jauh tertinggal dalam kemajuan ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan dan kehidupan sosial. KH. Ahmad Dahlan telah merumuskan dengan tepat model “perlawanan” Muhammadiyah yakni dengan membuka akses pendidikan, kesehatan dan layanan sosial.
Ahmad Dahlan menawarkan model baru “gerakan Islam” yang kemadjoen. Tentu saja tidak mudah. Sejak awal KH. Ahmad Dahlan sudah menerima tantangan yang besar. Surau miliknya dibakar dan ia terpaksa harus mengungsi. Kendati demikian, KH. Ahmad Dahlan tidak kenal mundur. Ia melanjutkan misi surat al-Ma’un yakni menolong umat dari ketertindasan dan ketertinggalan. Maka sekolah Muhammadiyah harus menjadi pusat pengetahuan dan kaderisasi. Tapi tantangan apa yang tengah kita hadapi?
Tantangan AUM Pendidikan
Ahmad Dahlan mengajarkan betapa pentingnya pendidikan dan gerakan sosial bagi umat Islam. Pada hari ini, ribuan sekolah dan ratusan perguruan tinggi milik Muhammadiyah telah berdiri di berbagai tempat. Jumlah yang mencengangkan. Tapi angka-angka besar jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah juga perlu dibarengi dengan peningkatan kualitas.
Saya punya pengalaman menjadi guru salah-satu sekolah Muhammadiyah di Jakarta Pusat. Sayang sekali, pencapaian sekolah kita belum terlalu merata. Tidak semua sekolah Muhammadiyah mampu meraih prestasi membanggakan. Ada beberapa sekolah dengan mutu bagus. Dan ada pula sekolah dengan mutu di bawah rata-rata. Apakah kesalahannya ada pada manajemen? Pada penggerak sekolah? Pada semangat membesarkan sekolah Muhammadiyah? Jawaban bisa beraneka ragam. Tapi satu hal yang jelas adalah perbaikan dan peningkatan daya saing sekolah Muhammadiyah perlu kita perjuangkan. Tidak lain sebagai bentuk komitmen kita warga Muhammadiyah dalam dakwah bidang pendidikan.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah punya banyak modal untuk menggerakkan dan meningkatkan mutu layanan pendidikan. tapi itu tidak cukup jika tidak didesain ulang. Supaya bermekaran lagi sekolah-sekolah unggulan dan maju milik Muhammadiyah. Jangan sampai berkat jumlah sekolah yang banyak kita jadi terlena untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan. Latar sejarah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan harus jadi pegangan yang kokoh. Idealnya, sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi alat dakwah, pusat pendidikan dan kaderisasi yang melahirkan kader-kader progresif dalam menganalisis persoalan dan tajam dalam memberikan solusi. Kader-kader dididik untuk menolong umat dari ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan kebodohan. Jadi sekolah tidak sekedar terus menerus berurusan dengan urusan teknis pendidikan. Harus ada visi yang lebih tinggi.
Muhammadiyah jelas terus berbenah. Upaya penguatan dan perbaikan itu tercermin jelas dalam Pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 01/PED/I.0/B Tahun 2018 tentang Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah. Pedoman resmi itu mempertegas kembali apa sebenarnya dasar, prinsip, fungsi, dan tujuan pendidikan Muhammadiyah. Bagi warga persyarikatan yang mengelola lembaga pendidikan, bertanggungjawab menjaga supaya kerangka utama visi pendidikan Muhammadiyah tetap berada pada jalur yang semestinya. Tidak mudah memang. Tapi tidak boleh menyerah.
Pemikir dunia pendidikan di nusantara sebetulnya sudah sangat maju pada masanya. Selain ada KH. Ahmad Dahlan, juga kita bisa menengok gagasan Ki Hadjar Dewantara bahwa pendidikan adalah memerdekakan manusia (Dewantara: 1961). Konsep pendidikan nasional pertama yang ditulis oleh Bapak pendidikan Indonesia ini senafas dengan ideologi pendidikan Muhammadiyah. Sebuah konsep ideologi pendidikan yang diselenggarakan dengan penuh keikhlasan sebagai pusat dakwah dan kaderasasi yang mampu mendidik generasi masa depan umat menjadi bertakwa pada Allah, serta menjadi kader berilmu, cakap, mandiri, berkemajuan dan unggul dalam menjalankan kewajibannya sebagai warga negara dengan demokratis dan bertanggungjawab.
Kita mesti kembali berpedoman bahwa dasar pendidikan Muhammadiyah adalah nilai-nilai yang bersumber pada al-Quran, as-Sunnah dan kebijakan Persyarikatan, (Pasal 2: Pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 01/PED/I.0/B Tahun 2018). Kita sudah memiliki dasar yang kokoh dalam menyelenggarakan pendidikan. Dasar itu sudah kita ramu dalam ideologi al-Islam Kemuhammadiyahan (AIKA) dan dasar itu adalah sebuah modal yang menjadikan Muhammadiyah sudah sangat kaya serta mapan dalam hal studi kultural sebagai pilar penyangga pendidikannya.
Persoalannya dapatkah kita benar-benar kembali pada dasar tersebut. Dapatkah kita menjadikan sekolah sebagai sebuah laboratorium yang benar-benar menjadi tempat pengkajian dasar studi kultural kita itu sebagai hal pokok yang amal usaha pendidikan Muhammadiyah berikan kepada murid-muridnya. Sedangkan di saat yang sama sekolah-sekolah kita terdistraksi oleh urusan teknis dan instrumentalistik, mengejar pemenuhan standari kualitatif sehingga sulit menempatkan AIKA sebagai dasar studi kultural dalam pendidikan Muhammadiah, ke dalam kurikulum dan program-program yang sekolah laksanakan. AIKA hanya sebatas muatan lokal dalam kurikulum, program-program AIKA sekadar ritual dan penghafalan, dialektika dalam pengkajian AIKA di sekolah-sekolah perlu lebih fresh dan kekinian.
Kita perlu kembali pada alasan mengapa Muhammadiyah mendirikan sekolah. Tiada lain sebagai pusat pendidikan, kaderisasi, dakwah, dan pelayanan dalam rangka mencerdaskan kehidupan umat manusia. (Pasal 4: Pedoman Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 01/PED/I.0/B Tahun 2018). Sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak dimaksudkan berfungsi sebagai sebuah wahana persaingan yang mencetak robot sempurna yang dapat tepat guna digunakan dalam pasar globalisasi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk bersaing sebagai sekolah unggulan yang hanya menerima murid unggulan dan menghasilkan lulusan unggulan yang mampu menjadi manusia cerdas namun belum tentu mampu berpikir benar dan menjadi pribadi berakhlak.
Sekolah Muhammadiyah dimaksudkan untuk berfungsi sebagai sarana pendidikan sekaligus sebagai pusat kaderasasi. Sebagai pusat kaderisasi, sekolah Muhammadiyah haruslah menghasilkan kader yang dapat mendukung, dan bergerak untuk mewujudkan cita-cita persyarikatan dalam masyarakat. Yakni menghasilkan lulusan yang dapat berusaha mewujudkan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Untuk itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah seharusnya mengutamakan dirinya untuk berfungsi menghasilkan lulusan yang mampu hidup sebagai pribadi muslim yang sebenar-benarnya, dengan ideologi AIKA yang persyarikatan miliki.
Di tengah era globalisasi, sekolah Muhammadiyah harus jadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan juga menghasilkan kader-kader unggulan. Sehingga mampu mendidik kader-kader terbaik untuk mengagas solusi atas persoalan-persoalan umat manusia kontemporer. Idealnya kader Muhammadiyah yang dilahirkan dari sekolah-sekolah ini, kemudian dapat menjadi agen bagi pemberantasan ketimpangan dan ketidakadilan sosial. Di sinilah peran kolaboratif antara mata pelajaran sains, humaniora dan AIKA di sekolah Muhammadiyah. Sehingga bukan tidak mungkin sekolah-sekolah Muhammadiyah akan berhasil mendidik siswa-siswa yang punya kecakapan intelektual sekaligus kemanusiaan.
Editor: Fauzan AS
Sumber : http://muhammadiyah.or.id
Beri Komentar